Selamat Datang di Website Ditjen Pajak

Sabtu, 01 Agustus 2009

PENGANTAR PERPAJAKAN/STELSEL

PENGENAAN PAJAK


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara mengenai pengenaan pajak, pada umumnya tidak terlepas dari subyek pajak yaitu mereka (orang atau badan) yang memenuhi syarat subyektif, yaitu syarat yang melekat pada orang atau badan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan obyek pajak artinya mereka mempunyai potensi untuk dikenai pajak, tetapi belum tentu dikenai pajak. Sementara itu, wajib pajak adalah mereka (orang atau badan) yang selain memenuhi syarat subyektif, juga harus memenuhi syarat obyektif. Jadi wajib pajak itu tidak hanya potensial untuk dikenakan pajak, melainkan lebih dari itu memang sudah dikenakan kewajiban untuk membayar utang pajak.

Pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalahan siapa saja yang dapat dikenai pajak, yaitu wajib pajak yang memiliki penghasilan atau memiliki bumi atau bangunan yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak dan sebagainya. Sedangkan asas pengenaan pajak itu sendiri tergantung pada negara tempat tinggal, negara asal, dan asas kebangsaan yang dianut negara yang bersangkutan. Bab mengenai pengenaan pajak itu meliputi : stelsel pajak, sistem pemungutan pajak, tarif pajak, dan perlawanan terhadap pajak.

Dalam makalah ini, kami akan membahas lebih lanjut mengenaipengenaan pajak. Misalnya mengenai kaitan stelsel pajak dengan sistem pemungutan pajak, tarif pajak dengan perlawanan terhadap pajak.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dibuat beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :

  1. Bagaimana keterkaitan antara stelsel pajak dengan sistem pemungutan pajak yang dijalankan?
  2. Bagaimana pengenaan tarif pajak yang dilakukan?
  3. Bagaimana perlawanan terhadap pajak?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Keterkaitan antara Stelsel Pajak dengan Sistem Pemungutan Pajak

Stelsel pajak pada umumnya berhubungan dengan sistem pemungutan pajak. Dalam konteks ini, sistem pemungutan pajak lebih menekankan masalah waktu di mana pada umumnya ada tiga sistem, yaitu :

1. Sistem pemungutan pajak di depan,

2. Sistem pemungutan pajak di tengah,

3. Sistem pemungutan pajak di belakang.

Dianutnya suatu stelsel pajak tertentu dalam suatu negara membawa adanya sistem pemungutan tertentu juga di dalamnya. Ada tiga macam stelsel pajak, yaitu :

1. Stelsel Nyata (Riil)

Dalam stelsel nyata atau riil ini pengenaan pajak didasarkan pada keadaan dari obyek pajak yang sesungguhnya. Apabila pajak itu dikenakan terhadap penghasilan misalnya, maka pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sungguh-sungguh diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Sehingga terhadap suatu jenis pajak yang menggunakan stelsel riil, maka sistem pemungutan pajaknya adalah sistem pemungutan pajak di belakang (naheffing). Pemungutan pajak dilakukan setelah masa atau tahun pajak berakhir.

* Kelebihan :

Baik bagi wajib pajak maupun fiscus atau pemerintah tidak merasa dirugikan apabila terjadi perubahan terhadap keadaan obyek pajak selama masa pajak itu berlangsung, karena semua perubahan itu tetap dipertimbangkan dalam penentuan jumlah pajak.

* Kelemahan :

Terlambatnya uang pajak masuk ke dalam kas negara. Hal tersebut terjadi karena uang pajak baru dapat diterima oleh negara setelah masa atau tahun pajak itu berakhir.

2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)

Stelsel anggapan pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan hukum (fictie) tertentu. Fictie hukum yang dipakai ini misalnya menganggap bahwa penghasilan yang diterima oleh setiap wajib pajak adalah sama besarnya untuk setiap tahun pajak. Fictie lain yang digunakan, misalnya bagi wajib pajak yang menerima gaji bulanan, penghasilan dalam satu tahun pajak adalah sama dengan penghasilan pada bulan pertama dikalikan dua belas. Dengan demikian, setelah bulan pertama berakhir dan diketahui semua penghasilan bulan itu, maka sudah dapat digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan setahun yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya pajak bagi wajib pajak yang bersangkutan. Stelsel ini menerapkan sistem pemungutan pajak di depan (voor heffing). Terhadap perubahan yang terjadi selama masa atau tahun itu tidak mempengaruhi besarnya utang pajak pada masa atau tahun itu.

* Kelebihan :

Uang hasil pajak segera dapat masuk ke dalam kas negara.

* Kelemahan :

Merugikan wajip pajak apabila ternyata selama masa atau tahun pajak berjalan terjadi penurunan penghasilan dari wajib pajak. Sebaliknya juga akan merugikan negara apabila ternyata selama masa atau tahun pajak berlangsung terjadi kenaikan penghasilan dari wajib pajak.

3. Stelsel Campuran

Stelsel ini merupakan perpaduan dari stelsel yang telah diuraikan di atas, dan sekaligus merupakan upaya untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan dari kedua stelsel sebelumnya. Dalam stelsel campuran ini, utang pajak dikenakan dengan mendasarkan stelsel fictie pada awal masa atau tahun pajak yang itu merupakan ketetapan sementara, di mana setelah masa atau tahun pajak berakhir akan dikoreksi berdasarkan keadaan dari penghasilan yang sesungguhnya diterima oleh wajib pajak. Dengan demikian, ada dua ketetapan pajak yaitu di awal masa atau tahun pajak dikeluarkan ketetapan sementara dan kemudian setelah masa atau tahun pajak berakhir dikeluarkan ketetapan yang final. Penggunaan stelsel ini membawa konsekuensi digunakannya sistem pemungutan di depan dan di belakang sekaligus. Stelsel ini digunakan dalam pajak penghasilan.

* Kelebihan :

Pada awal masa atau tahun pajak uang hasil pajak sudah dapat masuk ke dalam kas negara sehingga dapat segera digunakan. Bagi fiscus dan wajib pajak tidak ada yang dirugikan apabila terjadi perubahan terhadap besarnya penghasilan, karena pada akhir masa atau tahun pajak ketetapan pajak yang didasarkan pada stelsel fictie tersebut masih dapat dikoreksi.

* Kelemahan :

Adanya ketetapan yang dilakukan dua kali selama masa atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal ini akan mengakibatkan adanya pekerjaan, biaya dan tenaga yang digunakan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak itu menjadi dua kali lipat. Hal ini tentu tidak efisien.

Untuk mengatasi berbagai kelemahan stelsel-stelsel tersebut, harus dicari terobosan baru untuk memperkecil atau meniadakan kelemahan tersebut. Dahulu pernah diterapkan sistem MPS (menghitung pajak sendiri) dan MPO (menghitung pajak orang lain) yang peran utamanya tidak dilakukan oleh fiscus sendiri melainkan oleh wajib pajak. Sisitem ini kemudian mengarah kepada penerapan sistem self assessment.

Sistem pemungutan pajak tidak hanya sebatas pada masalah waktu saja, melainkan juga mengenai kewenangan dan tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan besarnya utang pajak. Beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu :

1. Official Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari sistem ini adalah :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiscus,

b. Wajib pajak bersifat pasif,

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (berisi ketetapan mengenai jumlah utang pajak yang harus dibayar wajib pajak) oleh fiscus.

Dalam sistem ini pihak fiscus masih cukup dominan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak. Sistem ini umumnya diterapkan terhadap jenis pajak yang melibatkan masyarakat luas di mana masyarakat selaku subyek pajak atau wajib pajak dipandang belum mampu disertahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan pajak. Contoh pajak yang masih menggunakan sistem ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan.

2. Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri dari sistem ini adalah :

a. Wewewnang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri,

b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang,

c. Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

Sistem ini umumnya diterapkan pada jenis pajak di mana wajib pajaknya dipandang cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri. Dalam hal ini, subyek pajak atau wajib pajak relatif terbatas, contohnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPn. BM). Dengan diterapkannya sistem pemungutan yang seperti ini, diharapkan akan mengatasi kelemahan dari stelsel campuran.

3. With Holding System

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiscus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri- ciri dari sistem ini adalah :

Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga selain fiscus dan wajib pajak,

Tanggung jawab ada pada pihak ketiga (hal ini dapat dilihat dalam PPh dimana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, dan sebagainya yang kepadanya diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka bayarkan).

B. Pengenaan Tarif Pajak

Besarnya utang pajak ditentukan oleh dua komponen utama, yaitu jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak atau jumlah yang dikenai pajak (tax base) dan tarif yang diteapkan terhadapnya (tax rates). Oleh karena itu, untuk menentukan besarnya pajak dapat digunakan rumus :



T = Tb X Tr

T adalah besarnya utang pajak (tax)

Tb adalah dasar pengenaan pajak (tax base)

Tr adalah tarif pajak (tax rates)

Dengan demikian, terhadap suatu obyek pajak yang nilai dasar pengenaannya sama akan dikenakan utang pajak yang berbeda apabila tarif pajaknya berbeda, atau suatu obyek pajak yang nilai dasar pengenaannya berbeda, dapat menghasilkan jumlah utang pajak yang sama apabila tarif yang diterapkan berbeda pula. Ada beberapa macam tarif pajak, yaitu :

1. Tarif yang sebanding (Proporsional)

Tarif dengan prosentase tunggal yang dikenakan terhadap suatu obyek pajak berapapun nilainya (prosentase pajak tetap). Sebagai contoh adalah PPN di mana tarif pajaknya 10 %, berapapun besarnya jumlah dasar pengenaan pajaknya (tax base). Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa apabila semua orang dikenakan pajak dalam jumlah yang sama itu dirasa kurang adil, karena keadaan dan kemampuan setiap orang berbeda-beda. Oleh karena itu, harus dikenakan beban yang sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing.

2. Tarif pajak yang meningkat (Progresif)

Tarif yang prosentase pengenaan semakin naik, maka semakin besar jumlah yang harus dikenakan pajak, misal tarif Pajak Perseroan sebagai berikut :

a. Laba kena pajak sejumlah Rp 25.000.000,- maka tarif pajak sebesar 20%

b. Laba kena pajak sejumlah Rp 50.000.000,- maka tarif pajak sebesar 30%

c. Laba kena pajak sejumlah lebih Rp 50.000.000,- maka tarif pajak sebesar 45%

Tarif progresif ini dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu :

  1. Tarif Proporsional Progresif

Jika prosentase pungutan semakin naik, maka semakin besar jumlah yang harus dikenakan pajak. Kenaikan prosentase untuk setiap jumlah tertentu (kenaikan marginal) adalah tetap.

Misal :

Rp 0,- sampai Rp 5.000,- dikenakan pajak 3%

Rp 5.001,- sampai Rp 10.000,- dikenakan pajak 5%

Rp 10.001,- sampai Rp 15.000,- dikenakan pajak 7%

Rp 15.001,- sampai Rp 20.000,- dikenakan pajak 9%

Keterangan : Kenaikan prosentase untuk setiap lima ribu rupiah adalah tetap yaitu 2%.

  1. Tarif Degresif Progresif

Jika prosentase pemungutan semakin naik, maka semakin besar jumlah yang harus dikenakan pajak. Kenaikan prosentase untuk setiap jumlah tertentu (kenaikan marginal) semakin menurun.

Misal :

Rp 0,- sampai Rp 5.000,- dikenakan pajak 3%

Rp 5.001,- sampai Rp 10.000,- dikenakan pajak 7%

Rp 10.001,- sampai Rp 15.000,- dikenakan pajak 10,5%

Rp 15.001,- sampai Rp 20.000,- dikenakan pajak 13,5%

Rp 20.001,- sampai Rp 25.000,- dikenakan pajak 16%

Rp 25.001,- sampai Rp 30.000,- dikenakan pajak 18%

Keterangan : Kenaikan untuk setiap jumlah lima ribu rupiah semakin menurun, yang semula kenaikannya 3,5% menurun menjadi 3%; 2,5%; 2% dan seterusnya.

  1. Tarif Progresif – Progresif

Tarif yang prosentase pemungutannya semakin naik, maka semakin besar jumlah yang harus dikenakan pajak. Kenaikan prosentase untuk setiap jumlah tertentu (kenaikan marginal), setiap kali selalu naik.

Misal :

Rp 0,- sampai Rp 5.000,- dikenakan pajak 3%

Rp 5.001,- sampai Rp 10.000,- dikenakan pajak 4%

Rp 10.001,- sampai Rp 15.000,- dikenakan pajak 5,5%

Rp 15.001,- sampai Rp 20.000,- dikenakan pajak 7,5%

Rp 20.001,- sampai Rp 25.000,- dikenakan pajak 10%

Rp 25.001,- sampai Rp 30.000,- dikenakan pajak 13%

Keterangan : Kenaikan setiap kali menjadi bertambah. Prosentase kenaikan yang mula-mula 1% semakin naik menjadi 1,5%; 2%; 2,5%; 3% dan seterusnya.

3. Tarif yang Tetap

Tarif yang besarnya tetap, tidak tergantung kepada suatu jumlah tertentu. Sebagai contoh adalah Bea Materai untuk kwitansi setiap pembayaran yang berjumlah lima ribu rupiah atau lebih dikenakan bea materai sepuluh rupiah. Sekarang ini menurut UU No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai dan diperbaharui dengan PP No. 24 tahun 2000, dikenal adanya tarif tetap sebesar Rp 3.000,- dan Rp 6.000,- terhadap beberapa dokumen, seperti surat perjanjian dan surat lain yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, akta notaris, dan akta PPAT. Besarnya tarif tersebut kemudian selalu mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman, tetapi selalu tetap. Tarif ini dilatarbelakangi oleh adanya pemikiran bahwa keadilan akan ada apabila terhadap semua pihak diberikan secara sama, jadi semua dikenakan dalam jumlah yang sama.

C. Perlawanan terhadap Pajak

Dari sisi ekonomi, pajak dapat dipandang sebagai sesuatu yang membebani, sesuatu yang dapat mengurangi kemampuan atau daya beli masyarakat. Apabila pajak dipandang dari sudut ini saja, maka pajak dapat dipandang sabagai sesuatu yang tidak menguntungkan. Sesuatu yang tidak menguntungkan biasanya selalu ada upaya untuk menghindarinya. Banyak orang yang lebih mementingkan kepentingan individu daripada kepentingan bersama, oleh karena itu menyebabkan kecenderungan seeorang merasa berat memenuhi kewajiban pajaknya dan melakukan perlawanan. Perlawanan terhadap pajak dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :

1. Perlawanan Pasif

Perlawanan pajak jenis ini terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersulit pemungutan pajak. Perlawanan ini tidak dilakukan secara aktif ataupun agresif oleh wajib pajak, melainkan sebaliknya. Hambatan tersebut erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara. Perkembangan intelektualitas dan pendidikan serta moral dari rakyat dan adanya sistem perpajakan yang tidak mudah untuk diterapkan pada masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh ada seorang wajib pajak yang aktif membayar pajak sesuai ketentuan, akan tetapi wajib pajak tersebut melihat ada wajib pajak lain yang tidak mau membayar pajak dan tidak ada tindakan atau sangsi yang dijatuhkan. Hal ini kemudian menyebabkan keraguan dan keengganan wajib pajak yang lain untuk membayar pajak.

2. Perlawanan Aktif

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan, yang secara langsung ditujukan terhadap fiscus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Ada beberapa macam perlawanan aktif, yaitu :

a. Penghindaran diri dari pajak (misal, produk kosmetik dikenankan PPN dan PPn BM, maka orang dapat menghindari pajak dengan tidak membeli atau memakainya)

b. Mengelakkan pajak (misal, agar tidak terkena bea masuk yang tinggi termasuk juga PPN dan PPn. BM maka impor terhadap mobil mewah dilaporkan di dalam dokumen sebagai impor spareparts mobil bekas, sehingga pajaknya rendah)

c. Melalaikan pajak (misal, tidak membayar pajak sebagaimana mestinya)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Sistem pemungutan pajak, yaitu :

a. Sistem pemungutan pajak di depan,

b. Sistem pemungutan pajak di tengah,

c. Sistem pemungutan pajak di belakang.

Dianutnya suatu stelsel pajak tertentu dalam suatu negara membawa adanya sistem pemungutan tertentu juga di dalamnya. Ada tiga macam stelsel pajak, yaitu:

  1. Stelsel Nyata (Riil)
  2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
  3. Stelsel Campuran

Beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu :

  1. Official Assessment System
  2. Self Assessment System
  3. With Holding System

2. Pengenaan Tarif Pajak

Besarnya utang pajak ditentukan oleh dua komponen utama, yaitu jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak atau jumlah yang dikenai pajak (tax base) dan tarif yang diteapkan terhadapnya (tax rates). Oleh karena itu, untuk menentukan besarnya pajak dapat digunakan rumus :

T = Tb X Tr

T adalah besarnya utang pajak (tax)

Tb adalah dasar pengenaan pajak (tax base)

Tr adalah tarif pajak (tax rates)

Ada beberapa macam tarif pajak, yaitu :

  1. Tarif yang sebanding (Proporsional)

  1. Tarif pajak yang meningkat (Progresif)

1) Tarif Proporsional Progresif

2) Tarif Degresif Progresif

3) Tarif Progresif – Progresif

c. Tarif yang Tetap

3. Perlawanan terhadap Pajak

  1. Perlawanan terhadap pajak dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
  2. Perlawanan Pasif
  3. Perlawanan Aktif

1) Penghindaran diri dari pajak

2) Mengelakkan

3) Melalaikan pajak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar